Siapapun yang terpilih sebagai pemimpin dari proses penentuan presiden, wajib untuk kita akui bersama.
“Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) dalam perkara yang ia senangi dan ia benci, kecuali apabila diperintah kemaksiatan. Apabila diperintah kemaksiatan maka tidak perlu mendengar dan taat.” (H.R. Bukhari 7144 dan Muslim 1839)
Di antara prinsip penting aqidah ahlus sunnah:
– Ahlus sunnah tidaklah berpendapat bolehnya keluar dari ketaatan kepada mereka, meskipun pemimpin itu zalim dan melampaui batas.
“Engkau mendengar dan engkau menaati pemimpinmu. Meskipun hartamu diambil dan punggungmu dipukul. Dengarlah dan taatilah (pemimpinmu).” (H.R. Muslim no. 1847)
– Sudah seharusnya kita mendoakan pemimpin dalam kebaikan dan agar mereka mendapatkan petunjuk, bukan mendoakan jelek mereka.
– Pemimpin itu pada hakikatnya berasal dari rakyat, hendaknya kaum muslimin bertaubat kepada Allah dan memperbaiki aqidahnya, dan mendidik dirinya sendiri dan keluarganya di atas agama Islam yang shahih terlebih dahulu, bukan dengan pemberontakan.
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengubah suatu kaum, sampai mereka mengubah diri mereka sendiri” (T.Q.S. Ar-Ra’du : 11)
Pengantar redaksi:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du.
Alhamdulillah, dipenghujung bulan ini in syaa Allah akan diputuskan siapa presiden periode selanjutnya. Betapapun banyaknya polemik dari berbagai pihak, kita berharap kepada Allah agar keadaan tetap aman.
Siapapun presidennya, orang Islam wajib taat
Imam Ahmad menyatakan satu kaidah terkait penyelenggaran negara,
“Wajib mendengar dan taat kepada pemimpin kaum mukminin, dia orang baik maupun orang fasik, atau kepada orang yang memegang tampuk khilafah, disepakati masyarakat, dan mereka ridha kepadanya, atau kepada orang yang menguasai mereka dengan paksa, sehingga dia menjadi khalifah dan dinobatkan sebagai kaum muslimin.” (Ushulussunnah, no. 15).
Di zaman Ibnu Umar, ada dua khalifah yang berkuasa, yaitu Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhumaa dan Abdul Malik bin Marwan. Suatu saat, Abdul Malik mengirim pasukan untuk menyerang wilayah Abdullah bin Zubair. Ketika itu Ibnu Umar tidak mengambil sikap dalam bentuk baiat kepada siapapun. Setelah Abdul Malik menang, beliau membaiat Abdul Malik.
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam shahihnya (7203), dari Abdullah bin Dinar, bahwa setelah Abdul Malik menang, beliau menulis surat kepada Abdul Malik,
“Saya siap untuk mendengar dan taat kepada hamba Allah, Abdul Malik, Amirul Mukminin, sesuai sunah Allah dan sunah Rasul-Nya, semampuku. Dan keturunanku juga mengakui hal ini.”.
Dari keterangan di atas, difahami bahwa siapapun yang terpilih sebagai pemimpin dari proses penentuan presiden Indonesia, wajib untuk kita akui bersama. Selain itu, kita juga harus melaksanakan kewajiban kita sebagai rakyat. Kewajiban tersebut adalah untuk mendengar dan taat sebagaimana ajaran Al-Qur’an dan sunnah, selagi tidak memerintahkan kepada maksiat. Jika memerintahkan kemaksiatan maka tidak boleh untuk didengar dan ditaati. Walaupun begitu, kita tetap tidak boleh memberontak terhadap kepemimpinannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan,
“Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) dalam perkara yang ia senangi dan ia benci, kecuali apabila diperintah kemaksiatan. Apabila diperintah kemaksiatan maka tidak perlu mendengar dan taat.” (H.R. Bukhari 7144 dan Muslim 1839).
Siapapun pilihan Anda, sesungguhnya presiden Indonesia telah ditulis dalam catatan taqdir, 50 ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi. Karena itu, apapun hasilnya, hendaknya kita mengambil sikap yang tepat, sesuai panduan yang diberikan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jangan lupa untuk mendoakan kebaikan bagi kaum muslimin dan negeri ini. Semoga Allah menjaga dan melindungi kita semua dari segala hal yang tidak diinginkan.
Allahu A’lam.
Dinukil dari tulisan Ustaz Ammi Nur Baits S.T., B.A. di website konsultasisyariah.com dengan penyesuaian.
Doakan Presidenmu
Akhir-akhir ini, banyak kita jumpai saudara-saudara kita kaum muslimin yang tanpa sadar banyak menghujat dan mendoakan jelek para pemimpin di negeri ini. Ketika mereka melihat (menganggap) pemimpin atau pemerintah melakukan kesalahan atau kekeliruan (menurut prasangka mereka), begitu mudahnya kata-kata celaan, hujatan, bahkan doa jelek pun keluar dari ucapan mereka.
Padahal, Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana sikap muslim yang benar sebagai rakyat kepada para pemimpin dan pemerintah. Melalui tulisan singkat dan sederhana ini, kami bermaksud untuk mengingatkan diri kami sendiri dan juga saudara-saudara kami kaum muslimin untuk senantiasa mendoakan kebaikan bagi mereka, bukan menghujat dan mendoakan kejelekan bagi mereka.
Ketaatan pada pemimpin adalah salah satu prinsip penting aqidah ahlus sunnah
Ketika menjelaskan prinsip-prinsip pokok aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah (wafat tahun 321H) berkata dalam kitab beliau, Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah,
“Dan kami (ahlus sunnah) tidak berpendapat (bolehnya) keluar (memberontak) dari pemimpin dan penguasa kami (yaitu kaum muslimin, pen.)”.
Ini adalah salah satu prinsip aqidah ahlus sunnah, yaitu tidak boleh keluar (memberontak) dari penguasa dan pemerintah kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (-Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S. An-Nisa : 59).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),
“Dan barangsiapa yang menaati pemimpin, maka sungguh dia telah menaatiku. Dan barangsiapa yang durhaka kepada pemimpin, maka dia telah durhaka kepadaku.” (H.R. Bukhari no. 2957 dan Muslim no. 1835).
Oleh karena itu, tidak boleh durhaka (memberontak) kepada mereka, meskipun mereka adalah pemimpin yang jahat atau zalim sekalipun.
Bersabar, itu yang utama
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah melanjutkan prinsip aqidah ahlus sunnah berikutnya,
“Meskipun mereka (pemimpin) itu (berbuat) zalim.”
Maksudnya, meskipun pemimpin itu zalim dan melampaui batas, misalnya dengan mengambil harta atau membunuh kaum muslimin, maka ahlus sunnah tidaklah berpendapat bolehnya keluar dari ketaatan kepada mereka. Hal ini berdasarkan perintah tegas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu (yang artinya),
“Engkau mendengar dan engkau menaati pemimpinmu. Meskipun hartamu diambil dan punggungmu dipukul. Dengarlah dan taatilah (pemimpinmu).” (H.R. Muslim no. 1847).
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk bersabar, bukan memberontak mengangkat senjata. Karena dengan memberontak akan menimbulkan (lebih) banyak kerusakan. Inilah aqidah ahlus sunnah, yaitu senantiasa menimbang dengan mengambil bahaya yang lebih ringan dibandingkan dua bahaya yang ada.
Janganlah mendokan mereka dengan kejelekan
Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah melanjutkan lagi prinsip-prinsip aqidah ahlus sunnah,
“Dan tidak mendoakan kejelekan bagi mereka (pemimpin atau pemerintah).”
Maka jelaslah bahwa aqidah ahlus sunnah menyatakan tidak bolehnya mendoakan kejelekan bagi pemimpin atau pemerintah, menghujatnya, menjelek-jelekkannya di muka umum, dan sebagainya. Karena pada hakikatnya, hal ini sama halnya dengan durhaka dan memberontak secara fisik. Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan,
“Tidak boleh mendoakan kejelekan bagi pemimpin, karena ini adalah pemberontakan secara abstrak, semisal dengan memberontak kepada mereka dengan menggunakan senjata (pemberontakan secara fisik, pen.). Yang mendorongnya untuk mendoakan jelek bagi penguasa adalah karena dia tidak mengakui (menerima) kekuasaannya. Maka kewajiban kita (rakyat) adalah mendoakan pemimpin dalam kebaikan dan agar mereka mendapatkan petunjuk, bukan mendoakan jelek mereka. Maka ini adalah salah satu prinsip di antara prinsip-prinsip aqidah ahlus sunnah wal jama’ah. Jika engkau melihat seseorang yang mendoakan jelek untuk pemimpin, maka ketahuilah bahwa aqidahnya telah rusak, dan dia tidak di atas manhaj salaf. Sebagian orang menganggap hal ini sebagai bagian dari rasa marah dan kecemburuan karena Allah Ta’ala, akan tetapi hal ini adalah rasa marah dan cemburu yang tidak pada tempatnya. Karena jika mereka lengser, maka akan timbul kerusakan (yang lebih besar, pen.).” (At-Ta’liqat Al-Mukhtasharah, hal. 171).
Selain berdoa, apalagi yang harus kita lakukan (sebagai rakyat)?
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata ketika memberikan komentar terhadap kitab Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah,
“Maka poin ini merupakan penjelasan (tentang) jalan keluar dari kezaliman penguasa, yang mereka itu pada hakikatnya adalah berasal dari kulit-kulit kita dan berbicara dengan bahasa kita (maksudnya, pemimpin itu pada hakikatnya berasal dari rakyat, pen.), yaitu hendaknya kaum muslimin bertaubat kepada Allah dan memperbaiki aqidahnya, dan mendidik dirinya sendiri dan keluarganya di atas agama Islam yang shahih. Hal ini untuk mewujudkan firman Allah Ta’ala yang artinya,’Sesungguhnya Allah tidaklah mengubah suatu kaum, sampai mereka mengubah diri mereka sendiri’.” (Q.S. Ar-Ra’du : 11).
Atas dasar ini, salah seorang juru dakwah di zaman ini mengisyaratkan dalam sebuah perkataannya, “Tegakkanlah negara (daulah) Islam dalam diri (dada) kalian, niscaya akan tegak (daulah Islam) di negeri kalian.”. Bukanlah jalan keluar dari kezaliman penguasa itu dengan memberontak kepada penguasa, dengan jalan kudeta (militer). Maka hal ini di samping bid’ah pada zaman ini, juga merupakan tindakan yang menyelisihi dalil-dalil syariat, yang di antaranya memerintahkan untuk memperbaiki (mengubah) diri sendiri (terlebih dahulu).
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah-Nya kepada pemimpin dan pemerintah kaum muslimin.
Ditulis oleh dr. M Saifuddin Hakim, M.Sc. (Alumnus Ma’had Al-‘Ilmi) pada website muslim.or.id dengan judul “Mari Mendoakan Kebaikan Bagi Para Pemimpin Kita” dengan penyesuaian.